Humearah

Minggu, 20 November 2011

Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan


  BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. 

Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi” .
Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia berada di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi, kloning dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga nuklir merupakan beberapa contoh hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk menciptakan tatanan manusia yang lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan pelanggaran terhadap etika seorang ilmuwan. Profesi dokter di Indonesia misalnya, terbatasi oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi dokter. Tidak dibenarkan, misalnya, seorang dokter yang sedang melakukan penelitian virus HN51 menyebarkannya ke lingkungan masyarakat sekitar untuk mencari obat penawarnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian yang membahas tentang bagaimana hubungan antara cara penggunaan ilmu dengan kaidah moral, baik dari segi ontologi maupun aksiologi. Dari segi ontologi perlu diketahui bagaimanakah hakikat hubungan antara ilmu dan kaidah moral, sedangkan dari segi aksiologi, perlu dibahas bagaimana aplikasi antara penggunaan ilmu dengan kaidah moral. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Oleh karena itu, dalam makalah ini saya mengangkat judul “Hubungan antara Moral dengan Ilmu Pengetahuan”.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Apakah yang dimaksud dengan moral dan ilmu pengetahuan?
2.    Bagaimana hakikat hubungan antara moral dan ilmu pengetahuan?
3.    Bagaimanakah penerapan hubungan antara moral dengan ilmu pengetahuan?
C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari perumusan masalah tersebut adalah :
1.    Untuk mengetahui pengertian moral dan ilmu pengetahuan.
2.    Untuk mengetahui hakikat hubungan antara moral dengan ilmu pengetahuan.
3.    Untuk mengetahui penerapan hubungan antara moral dengan ilmu pengetahuan.
D.   Manfaat Penulisan
1.    Memberikan motivasi baik kepada pembaca maupun penulis untuk selalu hati-hati dalam melakukan sesuatu.
2.    Mengetahui hakikat hubungan moral dengan ilmu pengetahuan.
3.    Mengetahui sejauh mana penerapan hubungan moral dengan ilmu pengetahuan. .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Pengertian Moral
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat.
Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut Kondratyev (2000) , moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas daan tanggung jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia.
Kondratyev menjelaskan lebih jauh bahwa moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilai-nilainya.
B.   Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi
Ilmu dan kebenaran ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dengan kata lain, “ if one were to speak about truth or reality one has to investigate how to know what reality is”
Netralitas ilmu: Ilmu itu sendiri bersifat netral tidak mengenal baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya.
Dikatakan oleh Einstein, “bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apapun juga teori yang disusun diantara mereka”.
Menurut S. Hornby mengartikan ilmu sebagai “Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil pengujian.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua pengertian, yaitu, Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya. Kedua Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya. Pengertian pertama memberikan gambaran bahwa suatu bidang/kajian dapat dikatakan ilmu, apabila mempunyai sistem atau bagian-bagian pendukung, yang apabila salah satunya hilang, maka ia tidak dapat dikatakan suatu ilmu. Sedangkan pengertian yang kedua penekanannya lebih kepada kepandaian/keahlian/pemahaman terhadap obyek ilmu.
Jujun S. Suriasumatri menjelaskan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang digali sejak sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti berterus terang pada diri sendiri tentang ; apa yang diketahui tentang ilmu ? Apa beda ilmu dari pengetahuan lainnya ? Bagaimana kita mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan kebenaran ? Mengapa kita mesti belajar ilmu ?. Jujun. S. Suriasumantri dalam pengertian ini, lebih melihat ilmu sebagai suatu proses. Demikian pula Lexy J. Moleong melihat ilmu sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah. Oleh karena itu menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya ia dapat diandalkan dengan suatu fakta dan argumentasi yang komprehenship, meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuwan. Dengan demikian, ilmu dalam pengertian ini didasarkan pada suatu fakta dan argumentasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran.
Alan H. Goldman lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu yang diyakini kebenarannya, “knowledge is belief that is best explained by reference to its truth”.
 Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang berlaku universal. Dalam konteks filsafat, obyek material ilmu dapat dibagi ke dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplin ilmunya seperti biologi, kimia, fisika, farmasi dan lain-lain. Sedangkan yang tercakup ke dalam Ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.
C.   Hakikat Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat.(Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 237). Jikalau hasil penemuan perseorangan tersebut memenuhi syarat-syarat keilmuan maka ia akan diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan dapat digunakan dalam masyarakat.
Moral merupakan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. (Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 234 - 235).
Pada kenyataan sekarang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat tergantung kepada ilmu dan teknologi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka pemenuhan kebutuhan hidup manusia dapat dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Dengan diciptakannya peralatan teknologi dibidang kesehatan, transportasi, pendidikan dan komunikasi, maka mempermudah manusia dalam menyelesaikan pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Namun dalam kenyataan apak ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari hal-hal negatif yang membawa malapetaka dan kesengsaraan?
Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan mengusai mereka. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi  dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 231).
Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai diluar bidang keilmuan  dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu dan teknologi tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu dalam rangka mensejahterakan kehidupan manusia. Masalah teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi. Dari perkembangan ilmu dan teknologi dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengatahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (sosial engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
D.   Penerapan Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan
Manusia sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dai freud yang dikenal dengan nama ”id”,”ego” dan”super-ego”. “Id” adalah kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dan agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instik: libido(konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “ Ego” adalah penyelaras penyelaras antara”Id”dan realita dunia luar.”super-ego”adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rahmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Moral manusia memenfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara in dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalh pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-ego”-nya.
Oleh kerena itu, pada tingkat ksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut moral dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalm penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia moral hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan . disinilah moral menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untu meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Moral adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani.
Bernaung di bawah filsafat moral, moral merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiabn itu, dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukanbagi manusia. Oleh kerena itu, moral pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (baca:executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas moral sang subyek berhadap opsi baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban executor dalam situasi ini.

BAB III
P E N U T U P

A.   Kesimpulan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya.
Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.
Moral manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikanbahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dakam pertrungan antara in dan ego, dimana ego kalah sementara super-eg0 idak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalh pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-ego”-nya.
Dalam pengembang ilmu, para ilmuwan senantiasa memandang bahwa ilmu dikembangkan sebagai objek yang terikat oleh nilai-nilai moral, sehingga dalam pengembangan ilmu tersebut tidak merendahkan martabat manusia.
B.   Saran
Dengan mempelajari hubungan moral dengan ilmu pengetahuan kita dapat lebih mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk sehingga dalam mengambil tindakan, kita harus mempertimbangkannya terlebih dahulu agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.


DAFTAR PUSTAKA



1 komentar:

  1. terima kasih atas ilmunya. mohon izin saya jadikan referensi dalam tugas

    BalasHapus