“Cintailah seseorang sekedarnya saja, karena bisa jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci, dan bencilah seseorang sekedarnya saja, karena bisa jadi suatu hari nanti ia menjadi orang yang kamu cintai.”
Begitulah nasihat dari sahabat Ali bin Abi Thalib. Karena orang yang meluapkan rasa cinta, atau suka ria yang melampaui kadar yang semestinya, berpotensi menimbulkan penyesalan dan kebencian yang dalam, jika ternyata yang terjadi berkebalikan dengan apa yang diharapkan.
Bila Kenyataan tak Sesuai Harapan
Nafsu manusia memang penuh dengan keinginan. Pikiran pun juga sarat dengan pengharapan. Rasulullah menggambarkan, angan-angan manusia melampaui batas ajal yang ditetapkan. Keinginan yang diidamkan, lebih banyak dari bilangan waktu yang disediakan. Bahkan setiap hari, selalu ada sekian target yang ingin diraihnya. Sementara, ketentuan berlaku sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendaknya. Ada saja target yang tidak tercapai, ada keinginan yang tak terwujudkan dan ada harapan yang luput dari genggaman. Sayangnyaa, kebanyakan orang hanya siap menikmati keberhasilan. Pengharapan yang berlebihan, membuat mereka tak siap menerima keadaan yang berlawanan. Saking tingginya harapan, seakan keinginan itu telah berada dalam genggaman. Maka, saat kehendak Allah menentukan lain, merekapun merasa kehilangan dan berputus asa. Allah berfirman,
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan” (QS. 41 : 49)
Itu karena dia hanya melihat, bahwa nikmat itu sebatas jika dia memiliki apa yang diinginkan, memperoleh hasil persis seperti yang direncanakan. Selebihnya, bukan lagi dianggap nikmat yang layak disyukuri.
Seperti siswa kelulusan yang hanya memandang lulus sekolah sebagai satu-satunya nikmat, yang seandainya luput, nikmat yang lain serasa tak berguna. Atau pelamar pekerjaan, yang menganggap nikmat itu hanya dimiliki jika ia diterima kerja di perusahaan yang dilamarnya. Juga pemuda yang menganggap bahwa nikmat itu adalah apabila ia berhasil menikahi wanita yang dicintainya. Sebesar apapun nikmat yang sebenarnya telah dimiliki, terlupakan lantaran satu target yang tidak didapatkan. Akibatnya, mereka patah arang dan putus harapan. Tidak diragukan, bahwa ini merupakan bentuk kekufuran atas nikmat yang telah Allah berikan. Itulah sebabnya, Allah menyematkan sikap putus asa sebagai karakter dari orang-orang kafir. Allah berfirman,
“Dan jangan kamu berputus asa dari nikmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf ayat 87).
Banyak orang lupa, bahwa nikmat yang datang, meski memiliki wujud lain dari yang dibayangkan, seringkali lebih berfaedah dari kenikmatan yang luput dari angan-angan. Allah lebih tahu apa yang baik bagi hamba-Nya. Andai saja mereka berhusnuzhan kepada Allah, kelak dia akan tahu, bahwa Allah telah merencanakan untuknya sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah dia rencanakan.
Tatkala Nikmat Hilang dari Genggaman
Hal lain yang membuat orang berputus asa adalah hilangnya sebentuk kenikmatan yang pernah mampir dalam hidupnya. Bisa berupa orang yang disayang, harta yang ditimang-timang, lapangan kerja yang ia peroleh dengan berjuang atau apapun yang keberadaannya sangat berarti dalam hidupnya. Banyak yang lupa akan karakter dunia yang memang fana. Semuanya datang silih berganti. Allah yang menjadi Pemilik Hakiki berhak menitipkan apapun, kepada siapapun dan kapanpun Dia kehendaki. Manusia bergembira saat menerima karunia itu. Mereka juga telah mendapatkan kemanfaatan dan kebahagiaan dengan hadirnya ‘titipan’ Allah. Tapi, anehnya saat Sang Pemilik itu mengambil titipan-Nya, tiba-tiba manusia merasa terzhalimi. Merekapun mengingkari nikmat yang pernah Allah berikan kepada mereka. Allah berfirman,
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih” (QS 11 : 9).
Bukankah semestinya manusia bersyukur karena telah diberi kenikmatan dan kemanfaatan? Dan seandainya manusia bersabar, mengharap pahala karenanyajuga bersyukur atas nikmat yang telah Allah limpahkan, maka tentulah Allah akan memberi ganti yang lebih baik dari nikmat yang hilang darinya. Dia akan memberikan tambahan nikmat, melebihi dari apa yang pernah ia dapat sebelumnya. Bisa jadi Allah hendak mengambil nikmat, namun untuk digantikan dengan sesuatu yang lebih baik lagi.
Jika kita jujur, sebenarnya nikmat yang masih tersisa jauh lebih banyak dari yang diambil oleh Allah. Tapi, ketika fokus seseorang tertuju pada nikmat yang hilang, maka nikmat lain yang lebih banyak seakan turut lenyap tak tersisa. Dari sisi ini, maka orang yang berputus asa saat musibah menimpa, berarti dia telah kufur terhadap banyaknya nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Dia hanya melihat yang hilang, bukan yang tersisa. Akibatnya, hatinya akan kecewa dan tersiksa.
Padahal, andai saja dia lebih banyak mengingat nikmat, maka kebahagiaan akan ia rasakan. Karena letak kebahagiaan adalah pada banyaknya nikmat yang diingat, bukan banyaknya nikmaty yang didapat. Sikap ini tidak saja meringankan beban musibah, bahkan pada batas tertentu bisa menumbuhkan rasa syukur. Seperti yang dialami oleh Urwah bin Zubeir, tabi’in agung, putera sahabat Zubeir bin Awwam. Ketika beliau harus kehilangan satu kakinya yang diamputasi, juga seorang puteranya karena ditendang seekor kuda, beliau tetap tegar. Bahkan ketika beliau pulang, sementara kerabatnya menyambutnya dengan raut kesedihan, beliau berkata, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu, maka masih tersisa tiga, puji syukur bagiNya. Aku dikaruniai empat kekuatan (dua kaki dan dua tangan), lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkanNya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih lama darinya.
Dunia Bukan Segalanya
Berputus asa dari rahmat Allah dianggap sebagai kekufuran, karena seakan pelakunya melihat dunia sebagai negeri balasan, bukan negeri beramak. Seakan dunia adalah ending dari segalanya.
Berbeda dengan orang yang beriman. Baginya, dunia itu bukan segalanya, bahkan dunia bukanlah apa-apa bila dibanding dengan kehidupan akhirat. Penderitaan yang paling berat di dunia itu belum seberapa bila dibanding dengan kesengsaraan akhirat yang paling ringan. Kenikmatan yang paling besar di dunia juga tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat.
Seorang mukmin menyadari, musibah apapun akan menjadi penghapus dosa0dosanya, atau bertambah catatan kebaikan karenanya. Maka dia tak ingin menghapus peluang itu dengan putus asa,
“Tiada menimpa seorang mukmin, meski hanya terkena duri, melainkan Allah akan mencatat baginya satu kebaikan, atau menghapus darinya satu dosa karenanya.” (HR Bukhari)
Jikalau dia banyak mengalami penderitaan dan cobaan di dunia, dia tetap optimis, bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal. Baginya, dunia tak lebih sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah ,
“Demi Allah, perumpamaan dunia dibandingkan akhirat hanyalah seperti seseorang yang mencelupkan jari-jarinya ke samudera yang luas, maka lihatlah, seberapa kadar air yang menempel (dibandingkan dengan air seluas samudera)?” (HR Muslim)
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai puncak ilmu kami, dan jangan pula Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita kami tertinggi. Aamiin. (Abu Umar Abdillah)
Sumber : Majalah Ar-risalah edisi 107
Hehehehehehe.... thumbs up....
BalasHapusU're problably right...
or maybe absolutely right....